Bisnis Internet Adsense

Mau Fokus di Adsense ? Klik disini aja!

Rabu, 11 Juni 2008

Dasar-Dasar Ekonomi Islam

Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam
Sebuah Pengantar
Oleh: Ahmad Syakirin Asmu’i
Prolog
“Bahwa seseorang di antara kamu yang membawa tali pada pagi hari lalu berangkat mengerjakan kayu api ke bukit-bukit, menjualnya, dimakannya, dan disedekahkannya, lebih baik daripada ia hidup meminta-minta kepada orang lain” (HR. Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i).
Dengan contoh sederhana dan primitif itu, Rasulullah SAW telah menggambarkan soal aktivitas ekonomi dalam pandangan agama ini:
Mengerjakan kayu bakar berarti berusaha menambah dalam bidang produksi.
Menjualnya adalah mengusahakan sisi distribusi.
Mensedekahkannya kepada orang lain adalah mengkaitkan ekonomi dengan tanggungjawab sosial.
Islam Melawan Kapitalisme
Setelah kehancuran sistem sosialisme, dunia dewasa ini dikuasai oleh kapitalisme yang menonjolkan faham individualistik yang egois dalam berekonomi. Wajah ekonomi dunia sarat dengan ketimpangan kaya-miskin, pemandangan mewah-kumuh yang bisa menjadi bom waktu bagi pembangunan suatu bangsa.
Faham semacam ini bukanlah tidak ada pada masa Nabi SAW. Pada waktu itu, ekonomi kapitalis memang masih sederhana bentuknya, di Madinah waktu itu faham ini diperankan oleh kelompok Yahudi yang bercokol di sana. Mereka mempraktekkan riba dan menganggap riba adalah sama dengan jual beli. Maka pandangan ini secara tegas dibantah oleh Al-Quran (Al-Baqarah: 275).
Gerakan perlawan Islam terhadap sikap-sikap egois dalam berekonomi diperluas, di dalam Al-Quran maupun Al-hadits digambarkan bahayanya faham kapitalis. Dalam surah Humazah misalnya Allah melukiskan ada tiga bahaya (kehancuran) yang ditimbulkan oleh dunia kapitalis:
Penimbunan (konsentrasi) kapital, Allah firmankan dengan kata jama’a maalan.
Perhitungan rasional, yang berarti dengan sedikit tenaga dan biaya untuk mencapai sebesar-besar tujuan, Allah firmankan dengan kata ‘addadah. Sehingga kita melihat kalau ada pemecatan buruh pabrik besar-besaran, mereka sebut rasionalisasi.
Monopoli, yaitu usaha menguasai ekonomi untu dirinya sendiri selama-lamanya dengan menutup segala kesempatan bagi orang lain, Allah sebutkan dengan kata yahsabu anna maalahu akhladah.
Dalam surah At-Takatsur juga Allah mewanti-wanti bahaya kapitalisme yang disebabkan oleh menumpuk-numpuk harta hingga melalaikan tugas kemanusiaan dan Ketuhanan. Dalam hadits Nabi juga disebutkan: “Sangatlah celaka orang yang diperbudak oleh harta (kapital), baik berupa dinar, dirham, ataupun lainnya”.
Apakah dengan kutukannya terhadap kapitalisme, berarti Islam menganut sosialisme? Kita jangan berpikir secara dualisme semacam itu. Islam adalah sistem tersendiri, meski ada titik singgung dengan sosialisme dan banyak juga perbedaannya. Meski penentangannya yang keras terhadap kapitalisme, namun juga ada titik temu dalam beberapa hal. Lalu apakah sistem ekonomi Islam itu?
Ciri-Ciri Sistem Ekonomi Islam:
Harta kepunyaan Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta itu. (al-Hadid: 7).
Ini karena, bumi, langit dan segala isinya adalah makhluq (diciptakan) oleh Al-Khaliq. Status manusia di bumi ketika Allah menciptakannya adalah sebagai khalifah; pemegang mandat dari Allah untuk menjalankan misi utama ‘mengabdi pada-Nya’. Sebagai pemegang mandat Allah yang harus mengabdi kepada-Nya, manusia harus menjalankannya sesuai dengan garis-garis besar yang sudah ditatapkan oleh Allah dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Dengan konsep semacam ini, maka manusia dibebaskan untuk memiliki harta, namun kepemilikian itu tidaklah mutlak. Di atas penguasaannya terhadap harta, ada hak Allah di dalam hartanya. Maka sudah semestinya, seorang yang memiliki harta itu menunaikan hak Allah di dalam hartanya. Dari sinilah kita memahami mengapa Allah mewajibkan zakat, menghimbau ummat untuk membelanjakan harta di jalan Allah.
Ekonomi yang terikat dengan akidah, syariah, dan akhlaq. (At-Taubah: 34)
Islam mengenal kebebasan berekonomi, namun kebebasan itu terikat dengan aturan-aturan ad-din. Ekonomi dalam Islam adalah bagin integral dari tauhid dan bersumber dari filosofi itu. Karena itu dalam setiap proses ekonomi ia tidak terpisahkan dengan tauhid, syariah, dan akhlaq. Upaya produksi, konsumsi, dan distribusi harus selaras bernafaskan tauhid, sejalan dengan syariah, dan menghembuskan nafas akhlaq.
Keseimbangan antara materi dan ruhani. (Al-Qashash: 77)
Ketika Islam mengimbau ummatnya untuk bekerja, tidak berarti Islam menuntut ummatnya untuk bekerja melupakan sisi ruhani. Sebaliknya, ketika Islam menghimbau ummatnya untuk beribadah, berdzikir kepada Allah mengisi ruhaninya dengan dzikir, bukan berarti Islam menjadikan manusia sebagai beban bagi orang lain. Seruan mencari materi dan ruhani itu harus ditempatkan pada perpaduan serasi dan seimbang. Hal itu bisa kita pahami seperti dalam contoh hadits dalam prolog di atas, juga hadits yang mengatakan “Sebaik-baik harta yang baik adalah (harta) yang berada di tangan orang yang shalih”. Inilah keshalihan sosial yang dituntut dalam hadits ini. Ada social responsibilty dalam setiap harta yang kita peroleh. Sehingga kepuasan yang diperoleh dari pencapaian ekonomi adalah kepuasan lahir dan batin.
Keseimbangan antara kepentingan individu dan umum. (Al-Hasyr: 7), (Al-Ma’arij: 24-25).
Kebebasan individu yang bertanggungjawab terjamin dalam Islam.
Sistem kapitalisme menekankan prinsip persamaan bagi setiap individu dalam kegiatan ekonomi secara bebas demi meraih kekayaan. Namun, kenyataannya konsep kebebasan ini justru menimbulkan kerancuan dalam proses distribusi pendapatan dan kekayaan, selain itu sistem itu secara otomatis menggolongkan masyarakat menjadi dua bagian; pemilik modal dan para pekerja. Sementara dalam sistem sosialisme, masyarakat tidak memiliki sedikitpun kebebasan dalam melakukan kegiatan ekonomi, kedudukan individu sebagai pelaku ekonomi digantikan oleh negara.
Sementara dalam sistem ekonomi Islam, semua itu dipadukan, individu bebas melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tetap pada koridor syariah dan intervensi negara, memang pada dasarnya dilarang, kecuali keadaan memaksa pemerintah untuk turun tangan.
Ada ruang bagi negara untuk intervensi dalam perekonomian.
Sesuai dengan penjelasan di atas, Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutughan masyarakat baik individu maupun soaial dapat terpenuhi dengan proporsional. Negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan sekelompok tertentu, berkewajiban memberikan jaminan sosial agar rakyat hidup layak.
Pilar-Pilar Ekonomi Islam:
Manusia sebagai pengusaha. Ini menimbulkan adanya hak milik yang diakui sebagai hasil usaha dari jerih payahnya.
Dasar pemikiran ini adalah (An-Najm: 39): “Dan tidaklah bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan”. Juga Al-A’raf: 10: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. Juga Al-Mudatstsir: 38: “Tiap-tiap diri mendapat jaminan atas apa yang telah diusahakannya”.
Pendek kata manusia sebagai individu adalah faktor pokok dalam ekonomi. Faktor ini menimbulkan dasar bahwa hak milik harus diakui, dijamin, dan dilindungi.
Masyarakat, harus dibina berdasarkan prinsip ukhuwwah saebgai ikatan hidup bersosial.
Nabi SAW bersabda: “Setiap orang yang menghidupkan dan menyuburkan tanan yang diminum oleh tiap-tiap orang yang bernyawa atau memperoleh kesejahteraan darinya, maka Allah menuliskan segala pahalanya”. Dalam Al-Anfal: 25 Allah berfirman: “Dan takutlah akan bencana (fitnah termasuk juga kemiskinan) yang tidak hanya menimpa orang yang yang bersalah saja, “tetapi juga mneimpat masyarakat secara luas)....”. Lebih jauh Allah berfirman dalam Al-Baqarah: 177: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”
Jelas, bahwa baik dalam mengusahakan harta maupun menggunakannya, tidak boleh lepas dari kepentingan masyarakat; kepentingan individu tidak boleh merusak kesejahteraan sosial. Pelanggaran terhadap sosial karena mementingkan individu merupakan suatu kesalahan yang tidak dibenarkan.
Sebab itu, selain pengakuan hak milik di atas, Islam juga mnejadikan sosial sebagai dasar ekonomi.
Negara haruslah mempunyai kekuasaan yang besar atas roda ekonomi.
Di dalam surah At-Taubah: 103 Allah memerintahkan Nabi sebagai kepala negara dengan berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Khalifah Abu Bakar ketika menghadapi pembangkangan para wajib zakat di mana dulu mereka mau tunduk kepada negara di zaman Rasulullah SAW, ia berkata: “Demi Allah, jikalau mereka (kaum yang berada) menghalangiku untuk memungut zakat hewan-hewan zakat yang dulu mereka tunaikan kepada Rasulullah, maka tentu saya akan perangi (yang berarti menggunakan segala alat kekuasaan negara) mereka”.
Negara sebagai pondasi ekonomi, tidak kurang pentingnya dengan pondasi-pondasi lain yang tersebut di atas. Bukan saja negara diberi hak untukj memaksa kapital, baik perseorangan ataupun kolektif, supaya mempedulikan kepentingan umum, tetapi juga mempuunyai kewajiban mengatur ekonomi begitu rupa supaya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bersama tercapai.
Allah yang menguasai seluruh manusia, masyarakat, dan negara.
Di dalam surah Al-Hijr: 3 Allah mencela dengan keras segala teori yang mengesampingkan Allah, Dia berfirman: “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan kosong (teori dan program-program yang mengesampingkan Allah), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).”. Secara terang, Allah mengutuk orang yang menyombongkan diri sanggup mengatur kehidupan manusia dengan mengesampingkan Allah dalam Az-Zuhruf: 32: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat (termasuk keberhasilan ekonomi) Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia...”.
Inilah empat pilar yang harus sinergis dalam membangun ekonomi Islam. Menafikan salah satunya akan berakibat kekacauan dan kezaliman (fitnah) di muka bumi. Keempat pilar inilah yang digambarkan dalam Al-Qashash: 77 yang berbunyi: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Prinsip-Prinsip Ekonomi Dalam Islam
Prinsip Keadilan (al-‘adalah) dan anti kedzaliman (nahy adz-dzulm)
Prinsip keadilan dan tidak dzalim mencakup dalam produksi, konsumsi, dan distribusi. Rasulullah SAW pernah menjelaskan bahwa diantara hal yang akan dipertanggungkanjwaba di depan pengadilan Allah SWT pada hari kiamat adalah: “...tentang hartanya dari mana didapat (produksi) dan untuk apa di pergunakan (konsumsi dan distribusi)...”(HR. At-Turmudzi, dari Abu Barzah Al-Aslamy). Ini mengharuskan harta itu secara produksi, konsumsi, dan distribusi harus adil dan tidak mengandung unsur kedzaliman.
Kesejahteraan sosial dan individu.
Harus saling melengkapi. Maka yang dianjurkan antara sesama manusia adalah kerjasama (ta’awun). QS. Al-Maidah: 2 mengatakan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Kemakmuran.
QS. Al-Baqarah: 201 mengatakan: “Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Hasanah (kebaikan) dalam ayat ini tiada lain kemakmuran kita di dunia dan juga ridla Allah di akhirat. Untuk mencapai kemakmuran di dunia dan keselamatan di akhirat, kita diwajibkan bekerja dengan dengan cara yang benar (syar’i). QS. Al-Hijr: 56 menyatakan: “Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat”. Ada hadits Nabi yang mengatakan: “(Bahaya) yang paling saya takutkan dari ummatku ialah: perut besar, banyak tidur, dan malas bekerja”.
Kesederhanaan (zuhud)
Zuhud artinya mensucikan diri dari nafsu harta dan kebendaan, dengan tidak mengurangi aktivitas dalam perjuangan mencari penghidupan. Surah An-Nur: 37 secara jelas memuji sikap kelompok yang ketika berniaga mereka tidak melupakan dzikr Allah, shalat, menunaikan hak orang lain (zakat). Allah berfirman: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”.
Abu Bakar Ash-Shiddiq memberi nasihat kepada kita agar meletakkan harta di tangan kita, supaya kita tanpa beban mendistribusikannya dan mengingatkan jangan sampai kita meletakkannya dalam hati kita, hingga kita menjadi terbebani.
Wallahu a’lam bi ash-shawaab