Bisnis Internet Adsense

Mau Fokus di Adsense ? Klik disini aja!

Senin, 01 November 2010

MEMILIH PRIORITAS

Ahmad Syakirin Asmui

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah meng-fardlu-kan perintah-perintah kepada kalian, maka jangan kalian sia-siakan. Dia batasi kalian dengan hudud, maka jangan kalian lewati.Dia larang banyak hal terhadap kalian, maka jangan dilanggar. Dan Dia biarkan banyak hal bukan karena lupa, maka janganlah kalian bersusah payah (bertanya-tanya), sebagai rahmat dari Rabb kalian, maka terimalah” (HR. ad-Daruqutni).
Hadits ini -dan juga dalil-dalil yang lain- menjadi petunjuk bagi kita untuk membuat skala prioritas dalam hidup kita sebagai hamba Allah. Prioritas pertama adalah faraidl (kewajiban), kedua adalah nawafil (kesunnahan), dan selanjutnya adalah hal-hal yang mubah. Yang fardlu bila sesuatu saat berbenturan dengan sunnah sudahbarang tentu hal yang pertama dilakukan adalah mengambil fardlu dan menomorduakan nafilah. Demikian juga antara nafilah dan mubah.
Dalam level fardlu sendiri ia dibedakan antara fardlu yang mendesak dan fardlu yang bisa ditunda misalnya. Yang pertama harus didahulukan dari yang kedua. Hal yang sama pada kasus yang sunnah.
Dalam kasus masalah menyangkut urusan ummat/social, maka pertimbangan utama adalah dengan fiqh mashlahat, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah fundamental syariah.
Berikut ini beberapa contoh kasus penerapan fiqh prioritas…
1) Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah, baginda Nabi saw yang mulia menerima permintaan orang kafir untuk menghapuskan “basmalah” yang tertulis pada lembar perjanjian, dan sebagai gantinya ditulislah “bismika Allahumma.” Selain itu, beliau juga merelakan untuk menghapuskan sifat kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi saw yang mulia “Muhammad Rasulullah” dan cukup hanya dengan menuliskan nama beliau saja “Muhammad bin Abdullah”. Semua itu dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mendapatkan ketenangan dan perdamaian di balik itu, sehingga memungkinkannya untuk menyiarkan da’wah Islam, dan mengajak raja-raja di dunia ini untuk memeluk Islam. Tidak diragukan lagi bahwa tindakan Rasulullah saw itu disebut di dalam al-Qur’an al-Karim dengan istilah kemenangan yang nyata (fath mubin).

2) Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa dia melihat Rasulullah saw sedang dalam suatu perjalanan, kemudian beliau menyaksikan orang ramai mengerumuni seorang lelaki yang dipayungi, kemudian beliau bersabda, “Apa ini?” Mereka menjawab: “Dia berpuasa.” Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.” Yakni di dalam perjalanan yang amat menyulitkan ini.
Dan jika perjalanan itu tidak menyulitkan, maka dia boleh melakukan puasa; berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah berkata kepada Nabi saw: “Apakah aku boleh puasa dalam perjalanan?” Hamzah adalah orang yang sering melaksanakan puasa. Karenanya Nabi saw bersabda, “Jika kamu mau, maka berpuasalah, dan jika kamu mau berbukalah.”
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz pernah berkata mengenai puasa dan berbuka di dalam perjalanan, juga tentang perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan fuqaha, manakah di antara kedua hal itu yang paling baik. Dia berkata, “Yang paling baik ialah yang paling mudah di antara keduanya.” Hal ini merupakan pendapat yang boleh diterima. Di antara manusia ada yang melaksanakan puasa itu lebih mudah daripada dia harus membayar hutang puasa itu ketika orang-orang sedang tidak berpuasa s emua. Tetapi ada orang yang berlawanan dengan itu. Oleh karena itu, yang paling mudah adalah menjadi sesuatu yang paling baik.

3) Nabi saw menganjurkan umatnya untuk bersegera melakukan buka puasa dan mengakhirkan sahur, dengan tujuan untuk memberi kemudahan kepada orang yang melaksanakan puasa.

4) Sahabat sekaligus pembantu beliau, Anas r.a., berkata, “Aku tidak pernah shalat di belakang imam satu kalipun yang lebih ringan, dan lebih sempurna shalatnya dibandingkan dengan Nabi saw. Jika beliau mendengarkan suara tangisan anak kecil, beliau meringankan shalat itu, karena khawatir ibu anak itu akan terkena fitnah.”.


5) Sunnah Nabi saw yang memperbolehkan penggunaan sutera bagi kaum lelaki setelah beliau mengharamkannya untuk mereka. Yaitu riwayat yang mengatakan bahwasanya Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwam sama-sama mengadukan hal mereka kepada Nabi saw bahwa mereka terserang penyakit gatal, kemudian Rasulullah saw mengizinkan mereka untuk memakai pakaian terbuat dari sutera karena adanya kasus tersebut.

Sebagai penutup makalah ini,mohon pembaca renungkan dua halontoh riil terjadi di antara kita:
Pertama; fenomena wakaf di Indonesia. Umumnya orang mewakafkan tanah mereka untuk masjid, madrasah ataupun pesantren. Jarang kita dengan saudara-saudara kita mewakafkan tanah untuk hal lain semisal, pengentasan ekonomi ummat ataupun pemberian layanan kesehatan. Tapi marilah kita tinjau hal ini dari sudut fiqh prioritas dan mashlahat, apakah pantas kita mewakafkan masjid di saat jumlah masjid di kota Malang sudah mencapai ratusan atau mungkin ribuan, hal yang sama terjadi juga pada pesantren ataupun madrasah. Di manakah letak mashlahat ummat pada kasus ini? Apakah mashlahat mana kala kita membangun masjid dengan jarak yang berdekatan? Apa perlu kita terapkan zonaisasi untuk masjid? Tidakkah lebih baik ketika kita mewakafkan tanah kita niatkan untuk membangun kompleks perdagangan yang pengelolaannya diserahkan kepada para pencari kerja yang tidak punya modal besar? Mereka bisa menyewa lokasi perdagangan tersebut dengan harga yang ukhuwwah (bersaudara). Lalu ketika mereka sudah bisa mandiri, kita relokasi mereka ke tempat lain dan tempat perdagangan wakaf tadi bisa ditempati oleh orang lain. Ataupun kita niatkan untuk membangun klinik pengobatan gratis bagi warga tidak mampu.
Kedua, maraknya umrah Ramadhan ataupun haji kedua (sunnah), sampai-sampai sebuah travel yang kantor cabangnya ada di Malang mampu memberangkatkan jamaah umrah pada Ramadhan terakhir sebanyak 800-an orang. Tentu kita patut bersyukur, ada saudara-saudara kita yang punya kesadaranuntuk mengamalkan ajaran syariah umrah ini. Namun mari kita cermati, bahwa ternyata di antara mereka adalah jamaah yang secara rutin tahunan berangkat umrah Ramadhan. Bagi penulis, tidak salah jika mereka melakukannya, setelah memenuhi kewajiban-kewajiban yang lain seperti zakat, shadaqah, dan lain-lain. Namun kalau ternyata tidak melakukan ibadah social ini, namun mereka dengan gigih mengejar fadlilah umrah Ramadhan, tindakan seperti ini adalah bentuk pandangan yang tidak proporsioanal dan komprehensif terhadap syariah.
Apakah ini sulit untuk dilaksanakan? Menurut hemat penulis, tidaklah sulit. Yang kita butuhkan adalah pemahaman yang proporsional dan komprehensif terhadap ajaran syariah kita.
Bukankah ini lebih mashlahat?