Bisnis Internet Adsense

Mau Fokus di Adsense ? Klik disini aja!

Selasa, 30 September 2008

Ideologi dan Madzhab dalam Krisis Timteng

Ideologi dan Madzhab dalam Krisis Timteng*)

Oleh :


Ahmad Syakirin Asmu'i
Penyiar Radio Kairo Seksi Indonesia

Krisis di Timur Tengah kembali terjadi. Dua pekan sudah adu senjata
berkecamuk antara Israel sebagai penjajah di satu pihak, dan para
pejuang muqawamah (perlawanan) Hizbullah Lebanon di pihak lain.
Situasi serupa juga terjadi antara Israel dan Hamas Palestina. Krisis
ini mengunduh reaksi yang beraneka ragam dari berbagai negara di
dunia, tak terkecuali Indonesia.

Namun yang menarik perhatian penulis adalah reaksi dari negara-negara
di Timur Tengah itu sendiri. Kerajaan Arab Saudi adalah yang pertama
kali mengeluarkan sikap dengan menyatakan 'harus dibedakan antara
perlawanan legal dan petualangan tanpa perhitungan'. Pernyataan ini
secara tidak langsung menohok perjuangan yang dilakukan Hamas dan
Hizbullah saat ini.

Menyusul sikap Kerajaan Arab Saudi, adalah pernyataan bersama
Presiden Mesir Husni Mubarak dan Raja Yordania Abdullah II yang
menganggap perbuatan kedua kelompok pejuang itu memberi peluang bagi
Israel untuk melakukan hal-hal yang mengganggu kemashlatan bangsa
Arab. Sementara sikap yang jelas-jelas mendukung para pejuang itu
ditunjukkan oleh Suriah dan dari luar Arab namun masih di lingkungan
negar-negara Timur Tengah adalah Iran. Negara ini memang mempunyai
jaringan tersendiri dengan Hizbullah.

Di tingkat rakyat, perjuangan Hamas dan Hizbullah mendapat sokongan
rakyat Arab tanpa terkecuali baik yang Sunni maupun Syiah. Sering
kali penulis mendengar teriakan takbir tatkala pejuang-pejuang
Hizbullah berhasil mencatat kemenangan. Teriakan takbir itu misalnya
terdengar saat Hizbullah mengumumkan keberhasilannya meluluhlantakkan
kapal Israel yang dibekali perlengkapan perang paling canggih. Hal
serupa juga terjadi saat Hizbullah berhasil membombardir kota Haifa
dengan serangan-serangan rudal yang tidak mampu ditangkis rudal
patriot milik Israel.

Seruan takbis dengan tangan dikepalkan menghiasi rakyat Arab yang
dengan antusias mengikuti berita penyerangan dari stasiun TV Al
Jazirah atau TV Al Arabia di kafe-kafe tradisional Arab. Mereka tak
peduli bahwa yang berjuang melawan Israel itu penganut ideologi yang
berbeda. Bagi mereka, sudah cukup apa yang dilakukan oleh kelompok
pejuang itu dengan menunjukkan sikap jantan dan harga diri mereka
sebagai bangsa Arab.

Syiah-Sunni
Ada yang menarik di balik reaksi-reaksi atas krisis yang terjadi saat
ini, yaitu kenyataan bahwa sikap resmi pemerintahan negara-negara
Arab secara umum justru minor terhadap perlawanan Hamas dan
Hizbullah. Negara-negara Arab yang bersikap minor ini kalau ditinjau
dari ideologi, mereka adalah negara-negara berplat Sunni. Sedangkan
negara-negara yang secara tegas mendukung dan menyokong para pejuang
itu ternyata berplatkan Syiah, sebagaimana rezim Al Asad di Suriah
yang Syiah namun berpenduduk mayoritas Sunni, dan tentu saja sikap
negeri Syiah, Iran.

Dalam tulisan sederhana ini, penulis tidak ingin mengupas jauh krisis
Timur Tengah kali ini dengan tinjauan-tinjaun politis, diplomatis,
ataupun militer. Yang lebih menggelitik di benak penulis justru sisi
ideologisnya. Sejauh krisis dan reaksi negara-negara Timur Tengah
yang ada, timbul pertanyaan, adakah peran ideologi madzhab reaksi-
reaksi bangsa Arab tersebut terhadap krisis yang ada di Timur Tengah?
Benarkah kesamaan sikap di antara kelompok pemerintahan negara-negara
pertama (yang minor) dan kelompok kedua (yang mendukung perjuangan)
karena ikatan sebuah ideologi yang bernama Sunni dan Syiah?

Pertanyaan ini pada akhirnya akan saya giring kepada sebuah tujuan:
sudah tepatkah kita orang Sunni untuk terus mengembangkan budaya
mencurigai dan membuntuti Syiah. Sementara terbukti merekalah yang
kini survive dengan segala resiko yang ditanggungnya mempertahankan
harga diri dan keberanian mereka sebagai bangsa dan penganut agama
yang bernama Islam. Pertanyaan tersebut beberapa hari kemudian
terjawab dengan keluarnya fatwa lembaga agama di Arab Saudi yang
melarang membantu donasi kepada Hizbullah (28/7). Mereka menganggap
Hizbullah telah melakukan tindakan-tindakan teroris yang diharamkan.
Kental sekali fatwa haram ini keluar dari kelompok yang selama ini
menyatakan dirinya sebagai pembela dan benteng bagi kaum Sunni, yakni
kelompok yang dikenal dengan nama Wahabi. Sebuah ideologi yang semula
menyeru purifikasi akidah namun bersembunyi di balik jubah kekuasaan
negara.

Secara politik, kelompok ini tidak jelas konsep politiknya, sehingga
sering kali kita melihat Wahabi mengikuti alur politik sang pemilik
jubah. Terkadang terlihat amat radikal dan kadang terlihat begitu
moderat, seperti fatwa haram mendukung Hizbullah tersebut.

Ide progresif
Ideologi Islam yang lebih progressif dalam krisis terakhir justru di
kedepankan oleh kelompok semacam Ikhwanul Muslimin (IM). Tanpa tedeng
aling-aling IM mendukung perjuangan Hizbullah Lebanon. Di kantor-
kantor sekretariat anggota legislatif Mesir dari kelompok IM ini
spanduk-spanduk dukungan terhadap Hizbullah dengan gambar foto Hasan
Nasrullah pemimpin Hizbullah terpampang jelas. Poster mereka
berdampingan dengan mendiang pemimpin spiritual Hamas, Syekh Ahmad
Yasin.

Sikap kelompok islam progressif ini, banyak didukung oleh mayoritas
ulama Sunni di dunia Islam. Fatwa Syekh Yusuf Qaradhawi, ulama Mesir
yang menjadi Mufti di Qatar, juga fatwa Dr Ali Jum'ah, mufti Mesir
menunjukkan dukungan kuat terhadap Hizbullah dan Hamas. Mereka secara
tegas menolak fatwa haram yang digulirkan oleh ulama Arab Saudi yang
Wahabi. Bagi Islam progressif, tiada penting lagi memandang perbedaan
madzhab Sunni-Syiah ketika melihat masalah-masalah umat dalam
menghadapi ancaman musuh luar. Semua adalah sama: ummat Islam, yang
laksana bangunan yang satu harus saling menyangga satu dengan yang
lain.

Menurut hemat penulis, adalah bagian dari mashlahat Islam untuk
melupakan perbedaan Sunni-Syiah, dan sudah selayaknya budaya
persatuan dikedepankan dalam mengahdapi ancaman musuh dari luar. Yang
menyedihkan, fenomena saling curiga ini, ternyata sudah terbawa ke
iklim Indonesia yang notabene tak punya cukup banyak catatan sejarah
mengenai Syiah.

Untuk Indonesia, seluruh kalangan Islam harus mencari format hubungan
yang mensinergikan antara kedua madzhab besar Islam ini. Tidak ada
mashlahatnya mengusung permusuhan Sunni-Syiah yang turun-temurun di
Timur Tengah ke bumi nusantara.

*) Artikel ini ditulis sewaktu penulis masih bekerja sebagai penyiar Radio Cairo Siaran Indonesia (RCSI), dimuat di harian republika September 2006