Bisnis Internet Adsense

Mau Fokus di Adsense ? Klik disini aja!

Rabu, 27 Juli 2011

MUSLIM ITU SAUDARA...: FIQH PRIORITAS IBADAH RAMADHAN*)

MUSLIM ITU SAUDARA...: FIQH PRIORITAS IBADAH RAMADHAN*)

FIQH PRIORITAS IBADAH RAMADHAN*)

Oleh. Ahmad Syakirin Asmui

Pendahuluan
Fiqh prioritas (bahasa Arabnya Fiqh al-Awlawiyat) merupakan sebuah tema yang vital dalam qowaid fiqhiyyah, karena ia memberikan pedoman bagi solusi terhadap tiadanya keseimbangan dalam memberikan penilaian mana yang terpenting dan mana yang penting –dari sudut pandang agama– terhadap perkara-perkara, pemikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf. Muaranya adalah bagaimana kita mendahulukan sebagian perkara atas sebagian yang lain; mana perkara yang perlu didahulukan, dan mana pula perkara yang perlu diakhirkan; perkara mana yang harus diletakkan dalam urutan pertama, dan perkara mana yang mesti ditempatkan pada urutan ke tujuh puluh pada anak tangga perintah Tuhan dan petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Yang dimaksud dengan istilah Fiqh Prioritas ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal, sesuai firman Allah SWT: "... Cahaya di atas cahaya..." (QS. an-Nuur: 35)
Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (raajih). Dan sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama. Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (QS. ar-Rahman:7-9)
Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai, hukum, pelaksanaan, dan pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama ialah berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk rukun dan ada pula yang hanya sekadar pelengkap; ada persoalan yang menduduki tempat utama (esensi) tetapi ada pula yang hanya merupakan persoalan pinggiran; ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.
Persoalan seperti itu telah dijelaskan di dalam nash al-Qur'an, sebagaimana difirmankan Allah SWT:
"Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslim yang
zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan."(at-Taubah, 19-20)
Di samping itu Rasulullah saw juga bersabda:
"Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih; yang paling tinggi di antaranya ialah 'la ilaha illa Allah,' dan yang paling rendah ialah 'menyingkirkan gangguan dari jalan.'"

Sekedar untuk diketahui, sebelumnya Dr Yusuf al-Qardhawi menyebut masalah ini dengan istilah fiqh maratib al-a’mal (fiqih urutan pekerjaan), namun kemudian beliau menemukan istilah yang lebih pas, yaitu fiqh al-awlawiyat (fiqh prioritas), karena istilah yang disebut terakhir lebih mencakup, luas, dan lebih menunjukkan kepada konteksnya. Tulisan berikut mayoritasnya mengacu pada buku beliau yang berjudul Fiqh al-Awlawiyat.

Urgensi persoalan ini adalah karena perosalan keseimbangan terhadap masalah-masalah yang perlu diprioritaskan oleh kaum Muslimin saat ini boleh dikatakan telah hilang. Ummat saat ini seolah tidak tahu prioritas pekerjaan atau perbuatan mereka. Mereka sering sibuk dengan hal-hal yang sunnah dengan mengabaikan hal-hal wajib. Sibuk dengan segala macam ritual tanpa menyentuh hakikat dari ritual yang dikerjakannya. Dan demikian seterusnya.

Di antara realitas-realitas amal yang terjadi di masyarakat kita pada musim Ramadhan antara lain; maraknya umrah Ramadhan, meriahnya shalat Tarawih, bertalu-talunya lantunan suara tilawah al-Quran di masjid ataupun mushalla, dan lain sebagainya.

Tulisan berikut bukan ingin menyudutkan siapapun dari mereka yang melakukan amal-amal tersebut, namun lebih untuk mengajak ummat untuk mengedepankan al-‘ilmu qobla al-amal. Dengan tujuan agar kita jangan latah dengan setiap fenomena atau realitas, akan tetapi dalami dulu setiap persoalan sesuai dengan hakikat tertinggi yaitu ilmu, baru kemudian kita total terjun dalam amal kita demi menggapai ridlo Allah SWT.

Fiqh Prioritas yang Perlu Dipegang dalam Beribadah Ramadhan

Untuk mensikapi realitas-realitas yang terjadi pada bulan Ramadhan, penulis sedikitpun tidak mengingkari akan sunnahnya amal yang kami contohkan pada pendahuluan di atas, justru dengan tulisan ini menghimbau agar amalan-amalan itu dilakukan sesuai proporsinya yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karenanya perlu dipahami prioritas mana yang didahulukan. Ada beberapa pedoman yang dikatakan oleh Syekh Yusuf al-Qardlawi dalam hal fiqh prioritas ini, di antaranya:

Pertama; Mendahulukan ilmu sebelum amal
Di antara pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan memberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya." Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu dalam Jami' Shahih-nya, dengan judul "Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah atas buku ini menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan seseorang. Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah yang membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan dilakukan. Mereka mengatakan: "Bukhari ingin mengingatkan orang kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat kecuali disertai dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya."
Dalam konteks ibadah Ramadhan yang kita lakukan, kita harus belajar untuk mengerti hal-hal ibadah Ramadhan sedalam-dalamnya.

Kedua; Prioritas amalan hati dari pada amal anggota tubuh.
Di antara amalan yang sangat dianjurkan menurut pertimbangan agama ialah amalan batiniah yang dilakukan oleh hati manusia.Ia lebih diutamakan daripada amalan lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan, dengan beberapa alasan.
Pertama, karena sesungguhnya amalan yang lahiriah itu tidak akan diterima oleh Allah SWT selama tidak disertai dengan amalan batin yang merupakan dasar bagi diterimanya amalan lahiriah itu, yaitu niat; sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw: "Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat." Arti niat ini ialah niat yang terlepas dari cinta diri dan dunia. Niat yang murni untuk Allah SWT. Dia tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni untuk-Nya; sebagaimana difirmankan-Nya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus..." (QS. al-Bayyinah: 5). Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya."
Kedua, karena hati merupakan hakikat manusia, sekaligus menjadi poros kebaikan dan kerusakannya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan Nabi saw bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati." Nabi saw. menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat pandangan Allah, dan perbuatan yang dilakukan oleh hatilah yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana disabdakan oleh baginda, "Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.". Yang dimaksudkan di sini ialah diterima dan diperhatikannya amalan tersebut.
Dalam konteks ibadah Ramadhan kita, maka kita harus benar-benar menjaga puasa kita, tadarrus al-Quran, tarawih kita dan lain sebagainya betul-betul karena Allah dan demi mendapat ridlo-Nya.

Ketiga; Prioritas ibadah fardlu atas ibadah sunnah
Berkaitan dengan fiqh prioritas ini, kita harus mendahulukan hal yang paling wajib atas hal yang wajib, mendahulukan hal yang wajib atas mustahab, dan kita perlu menganggap mudah hal-hal yang sunnah dan mustahab serta harus mengambil berat terhadap hal-hal yang fardhu dan wajib. Kita mesti menekankan lebih banyak terhadap perkara-perkara fardhu yang mendasar daripada perkara yang lainnya.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas r. a. berkata bahwasanya Nabi saw mengutus Mu'adz r.a. untuk pergi ke Yaman, beliau saw bersabda kepadanya, "Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah.Apabila mereka mematuhi dirimu dalam perkara ini, maka beritakanlah kepada mereka bahwasanya Allah telah memfardhukan shalat lima waktu sehari semalam. Dan apabila mereka mentaati dirimu dalam perkara ini, maka beritakanlah kepada mereka bahwa Allah SWT telah memfardhukan kepada mereka untuk membayar zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa ada seorang lelaki Arab Badui datang kepada Nabi saw sambil berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku amalan yang apabila aku melakukannya, aku akan masuk surga." Rasulullah saw menjawab, "Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dirikan shalat fardhu, bayarlah zakat fardhu, dan berpuasalah pada bulan Ramadhan." Kemudian lelaki itu berkata, "Demi yang diriku berada di tangan-Nya, aku tidak akan menambah atau menguranginya. "Ketika orang itu kembali lagi ke tempat asalnya, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin melihat lelaki penghuni surga, maka hendaklah dia melihat orang ini."
Hadits di atas menunjukkan bahwa perkara-perkara fardhu ini adalah dasar amalan agama. Barangsiapa mengerjakannya dengan sempurna, tidak menguranginya sedikitpun, berarti dia telah membuka pintu surga, walaupun dia tidak mengerjakan amalan-amalan sunnah di luar fardhu itu. Ajaran yang diterapkan oleh Nabi saw ketika beliau mengajar para sahabatnya ialah memusatkan perhatian terhadap rukun dan dasar, dan bukan menekankan perhatian terhadap perkara-perkara kecil, parsial, yang tidak akan ada habisnya.

Pendapat Imam al-Raghib yang Cemerlang

Para fuqaha Islam telah menetapkan bahwasanya Allah SWT tidak akan menerima ibadah yang sunnah sampai ibadah yang fardhu telah dilaksanakan.
Imam al-Raghib mengemukakan pendapat sehubungan dengan perbandingan antara berbagai fardhu dalam ibadah, dan perkara-perkara mulia yang hukumnya sunnah. Dia mengatakan sesuatu yang sangat baik: "Ketahuilah, sesungguhnya ibadah itu lebih luas daripada kemuliaan (al-makramah). Sesungguhnya setiap perbuatan yang mulia adalah ibadah, dan tidak setiap ibadah itu mulia. Di antara perbedaan antara kedua hal ini ialah bahwa ibadah mempunyai perkara-perkara fardhu yang telah diketahui, dan batas-batas yang telah ditetapkan. Barang siapa yang meninggalkannya, maka dia dianggap melanggar batas. Sedangkan perbuatan yang mulia adalah sebaliknya. Manusia tidak akan sempurna kemuliaannya selama dia belum melakukan kewajiban-kewajiban dalam ibadahnya. Oleh karena itu, melaksanakan kewajiban dalam ibadah merupakan sesuatu yang adil, sedangkan melaksanakan kemuliaan merupakan sesuatu yang hukumnya sunnah. Perbuatan yang sunnah tidak akan diterima oleh Allah SWT dari orang yang mengabaikan hal-hal yang wajib.
Dan orang yang meninggalkan kewajiban tidak dianjurkan untuk mencari keutamaan dan kelebihan, karena mencari kelebihan tidak dibenarkan kecuali setelah seseorang melakukan keadilan.
Sesungguhaya keadilan merupakan sesuatu yang wajib, dan keutamaan adalah tambahan atas yang wajib. Bagaimana mungkin ada tambahan terhadap sesuatu yang dia sendiri masih kurang. Oleh karena itu benarlah ucapan: 'Orang yang mengabaikan perkara-perkara yang pokok tidak akan sampai kepada tujuan'." Barangsiapa yang disibukkan dengan perkara fardhu sehingga dia tidak dapat mencari tambahan, maka dia dimaafkan. Dan barangsiapa yang disibukkan untuk mencari tambahan dengan mengabaikan perkara yang fardhu maka dia tertipu.
Dalam konteks ibadah Ramadhan, memprioritaskan shalat tarawih berjamaah di masjid daripada shalat berjamaah fardlu Isya adalah tidak sesuai dengan yang diingan Allah dan Rasul-Nya. Allahu a’lam bisshowab.

*) Sumber utama tulisan ini adalah buku Fiqh Prioritas, Syaikh Yusuf al-Qardlawi, http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Prioritas/Fiqh.html
**) Diterbitkan dibulletin bulanan IKADI Kota Malang