Bisnis Internet Adsense

Mau Fokus di Adsense ? Klik disini aja!

Rabu, 22 Juni 2011

CATATAN TENTANG RAJAB

Oleh. Ahmad Syakirin Asmui

Rajab adalah bulan ke tujuh dari dua belas bulan kalender Hijriyah. Ia merupakan salah satu dari empat bulan haram (asyhurul hurum), selain Dzul Qaidah, Dzul Hijjah dan Muharram.
Hadits riwayat Abu Bakrah RA menuturkan: “Sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi, jumlah tahun adalah dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram; tiga bulan berturut-turut yaitu Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, dan Muharram, serta bulan Rajab (sesuai yang dianut) Mudlirr yang ada di antara bulan Jumada (Tsani) dan Sya’ban” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah menyebutkan Rajab dengan tambahan kata “Mudlirr” karena sebagian orang Jahiliyah seperti suku Rabi’ah menganggap bulan Ramadlan sebagai bulan haram juga. Sedangkan kata “antara bulan Jumada dan Sya’ban sebagai ta’kid (penegasan) bahwa yang berlaku pada suku Mudlirr itu benar, tidak seperti anggapan suku-suku lain.
Dinamakan bulan haram (terlarang), karena pada bulan-bulan itu kita dilarang untuk berperang dan berbuat kedzaliman lainnya, sebagaimana penegasan Allah:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah: 36). Juga:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. At-Taubah: 5).
Selain itu, hikmah pertahankannya syariat asyhurul hurum sesungguhnya terkait dengan pelaksanaan ibadah haji dan umrah yang merupakan syariat sejak Nabi Ibrahim AS lalu ditetapkan juga dalam syariat Nabi Muhammad SAW.
Untuk mengamankan pelaksanaan ibadah haji pada bulan Dzul Hijjah, maka bulan ini dinyatakan sebagai bulan aman dan damai, serta dilarang berperang dan berbuat kedzaliman di dalamnya. Pun juga, sebulan sebelum dan sesudah Dzul Hijjah yaitu Dzul Qaidah dan Muharram ikut diharamkan untuk mengamankan jalan keberangkatan dan kepulangan para jamaah haji. Jadi pengharaman tiga bulan Dzul Qaidah-Dzul Hijjah-Muharram adalah untuk menjamin implementasi syarat ‘man istatho’a ilaihi sabiila’ yang salah satu unsurnya adalah terpenuhinya syarat aman jalannya menuju tanah suci.
Adapun pengharaman Rajab adalah karena tradisi yang dulu berlaku sebelum Islam, pelaksanaan umrah pada bulan Rajab, bukan Ramadlan seperti sekarang. Orang Arab tidak melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji tersebut. Karenanya masyarakat pada waktu itu mengagungkan dan mengharamkan bulan Rajab, demi mengamankan jalan mereka yang pergi dan pulang umrah.
Ala kulli hal, keempat bulan tersebut telah ditetapkan oleh Allah langsung sebagai bulan-bulan haram sebagaimana pernyataan Al-Quran dan Hadits shahih di atas.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa implikasi dari syariah Rajab menjadi bagian bulan-bulan haram?
Pertama; Dosa dan kedzaliman yang dilakukan pada bulan ini dan bulan-bulan haram lainnya dihitung berlipat.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat QS. At-Taubah: 36: “wala tadzlimu fii hinna anfusakum” (Janganlah diri kalian berbuat dzalim pada bulan-bulan haram itu, karena perbuatan dzalim di dalamnya a’kad wa ablagh fil itsmi (lebih mendalam dan besar dalam dosanya) dari pada bulan-bulan lain, sebagaimana maksiat dihitung berlipat di tanah-tanah haram. Lalu Ibnu Katsir menukil pendapat dari Qatadah yang mengatakan: “Sesungguhnya kedzaliman pada bulan-bulan haram dilipatkan dosanya dari pada pada bulan-bulan lainnya. Walaupun sesungguhnya kedzaliman merupakan perbuatan yang dosa pada setiap saat. Namun Allah berhak untuk mengagungkan perkara-Nya sesuai yang Dia kehendaki.
Hal senada diungkapkan juga oleh al-Qurthuby dalam tafsirnya. Ia mengutarakan alasannya, karena Allah SWT jika mengagungkan sesuatu dari satu sisi, maka sesuatu itu menjadi haram dari satu sisi, dan jika Dia mengharamkannya dari dua sisi atau banyak sisi, maka keharamannyapun berlipat, sehingga sanksi untuk perbuatan dosapun berlipat. Sebagaimana pahala untuk perbuatan baikpun berlipat. Sesungguhnya orang yang melakukan ketaatan pada bulan-bulan haram di tanah haram, pahalanya berbeda dengan orang yang melakukannya pada bulan-bulan halal di tanah haram. Dan mereka yang melakukannya di bulan-bulan halal dan di tanah halal juga, berbeda pahalanya ketika berada di tanah haram dan di bulan haram.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa-dosa yang aku perbuat, saya mengakui segala nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan mengakui segala dosa yang saya perbuat, maka ampunilah daku dengan ampunan dari sisi-Mu, sesungguhnya tiada Dzat yang mengampuni kecuali Engkau ya Allah…Amin.
Kedua; Sebaliknya, ketaatan dan amal shalih yang dilakukan pada bulan ini dan bulan-bulan haram lainnya juga dihitung berlipat.
Hal ini sesuai pernyataan hadits Nabi misalnya dengan memperbanyak puasa di dalam bulan-bulan haram. Amal shalih lainnya tentu banyak tidak terhingga, seperti bersedekah, mengkafil anak yatim, dan seterusnya dan seterusnya.
Tentang Puasa Rajab
Sesungguhnya pembicaraan ini sungguh menyedot pembicaraan banyak ulama dan banyak orang yang menjauhi jalan sunnah Nabi SAW. Fenomena Rajab sesungguhnya bukan terjadi sesaat di zaman sekarang. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak zaman shahabat. Hal semacam ini terekam dari sebuah riwayat, di mana pada zaman khakifah Umar bin Khatthab RA. Ia sampai memukul telapak tangan orang-orang yang puasa Rajab sehingga mereka memakan makanan (berbuka) lalu ia mengatakan: “Apakah Rajab itu? Sesungguhnya Rajab itu bulan yang diagungkan pada zaman Jahiliyah dan ketika Islam dating, hal itu ditinggalkannya. Keterangan ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath. Hal senada juga diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Khorsyah bin Al-Hurr.
Pernyataan Umar bin al-Khaththab di atas cukup mewakili realita kedudukan Rajab pada zaman Jahiliyah. Sehingga meski adanya dakwah Islam, tetapi masih tetap menjadi bias bagi sebagian ummat Islam. Sehingga tenar pada waktu itu, orang-orang yang terlalu berlebih-lebihan memuliakan Rajab disebut Rajabiyyun. Para Rajabiyyun ini misalnya mengklaim bahwa bulan Rajab terjadi kelahiran Nabi, hari diutusnya Nabi, dan seterusnya dan seterusnya. Muncullah banyak hadits-hadits palsu tentang fadlilah puasa Rajab (keterangan lebih lanjut bias dilihat: Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam Tabayyun al-‘Ajab fi Ma Warada fi Fadlli Rajab, hal. 6-8). Fadlilah-fadlilah yang diklaim itu sesungguhnya justru menjauhkan amal ibadah dari esensinya yaitu itba’ as-sunnah (mengikutii sunnah Nabi kita) maupun para shahabatnya.
Menurut hemat penulis, wallahu a’lam, sikap yang harus kita tunjukkan adalah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi sunnah Nabi. Terkait dengan puasa Rajab, maka bila berpuasa hendaknya kita berniat puasa sunnah muthlaq pada bulan-bulan haram. Tidak diperkenankan kita mentahshishkannya hanya pada Rajab semata, melainkan kita melakukannya seperti pada bulan-bulan lainnya, dari mulai puasa senin-kamis, tiga ayyam baydl, puasa sehari buka sehari (puasa Nabi Daud), ataupun puasa sararusy syahr yang menurut sebagian ulama jatuh di awal bulan, sebagian mengatakan pertengahan bulan, sebagian lagi mengatakan akhir bulan.
Klaim yang tidak berdasar lainnya adalah tentang fadlilah umrah, ataupun juga shalat raghaib pada jum’at pertama bulan Rajab (lihat: An-Nawawy dalam Fatawanya). Dan konyolnya lagi, termasuk peringatan Isra’ dan Mi’raj pada bulan inipun terjadi dasar kajiannya dimentahkan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Taymiyah dan Ibnu Hajar al-Asqalany.
Mengapa begitu terpedayanya kita dengan fadlilah? Segala sesuatu yang diembel-embeli fadlilah yang hebat begitu lakunya di masyarakat, tanpa mengecheck kebenaran informasinya. Cara beragama seperti itu ibarat pemirsa televisi yang sering begitu mudah termakan oleh promosi produk. Naudzubillah! Wallahu yahdis sabiil.

Tidak ada komentar: